Institut Islam Mamba'ul 'Ulum Surakarta

Surakarta, 8 Oktober 2025 – Langit pagi Kota Solo tampak cerah menyambut kedatangan rombongan mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Institut Islam Mambaul Ulum (IIM) Surakarta. Tepat pukul 09.00 WIB, mereka mulai berdatangan ke halaman depan Museum Pers Nasional pada 6 Oktober 2025. Hari itu bukanlah hari perkuliahan rutin, melainkan sebuah perjalanan ilmiah yang dirancang untuk menyaksikan dan menyentuh langsung jejak panjang perkembangan pers Indonesia.

Bangunan Museum Pers Nasional yang berdiri kokoh dengan arsitektur khas kolonial menjadi latar pembuka. Dosen pendamping mengingatkan mahasiswa bahwa kunjungan ini adalah perjalanan ilmiah untuk memperdalam pemahaman mereka tentang pers, sejarah, literasi media, serta etika komunikasi dalam perspektif sosial-historis.

Tepat pukul 09.15 WIB, perjalanan belajar dimulai. Di ruangan teater, lampu diredupkan dan film dokumenter sejarah pers diputar. Suara narator yang tegas mengiringi montase arsip lama: potret tokoh pers, lembaran surat kabar tua, dan cuplikan sejarah yang mencatat peran media sebagai bagian penting dari perjuangan bangsa.

Mahasiswa terdiam menyaksikannya. Film itu membawa mereka pada suasana emosional ketika jurnalis masa lalu mempertaruhkan kebebasan untuk menyampaikan informasi. Mereka melihat bagaimana pers pernah mengalami tekanan, pembredelan, hingga sensor ketat pemerintah kolonial.

“Film itu seperti membuka jendela baru, bahwa media bukan hanya tentang berita yang dikonsumsi sehari-hari atau konten yang berseliweran di layar gawai, tetapi bagian dari perjuangan kolektif bangsa,” ujar Siti Zaida Hanum, dosen pendamping dalam sesi refleksi.

Perjalanan berlanjut ke ruang koleksi patung tokoh-tokoh monumental pers seperti Tirto Adhi Soerjo dan Douwes Dekker. Pemandu menjelaskan secara rinci kontribusi mereka dalam membangun kesadaran nasional melalui tulisan. Pertanyaan kritis pun bermunculan dari mahasiswa: Bagaimana tulisan pada masa itu begitu berpengaruh? Apa nilai dari keberanian mereka bagi konteks media digital hari ini?

Titik puncak kunjungan adalah ruangan penyimpanan alat-alat pers kuno. Mahasiswa tertegun melihat deretan mesin ketik manual, kamera analog berbobot berat, dan perangkat cetak tua. Ruangan ini menjadi kapsul waktu yang menyadarkan bahwa proses produksi berita sebelum era digital adalah pekerjaan yang sangat manual dan penuh ketekunan.

Pemandu menjelaskan bahwa wartawan masa lampau harus membawa peralatan berat hanya untuk mendapatkan gambar yang baik. Refleksi ini mengingatkan mahasiswa bahwa kemudahan teknologi hari ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan dan inovasi bertahap.

Sesi refleksi kemudian mengaitkan sejarah pers dengan konteks komunikasi Islam. Dosen mengingatkan mahasiswa tentang prinsip tabayyun—memverifikasi informasi sebelum menyampaikan—yang menjadi fondasi etika jurnalistik modern.

“Mempelajari sejarah pers melalui outing class ini bukan hanya latihan akademik, tetapi juga latihan moral: bagaimana mahasiswa kelak mampu menjadi komunikator yang bertanggung jawab, tidak mudah menyebarkan berita palsu, dan punya komitmen kuat terhadap kebenaran,” tegas Dekan FDK, Yetty Faridatul Ulfah.

Sebagai penutup, seluruh mahasiswa diwajibkan membuat konten perjalanan berupa video reportase atau bentuk konten kreatif lainnya. Tugas ini dirancang untuk menggabungkan pengalaman lapangan dengan keterampilan produksi media, memastikan mahasiswa tidak hanya belajar melihat, tetapi juga menafsirkan dan menyuarakan sejarah kembali dalam bahasa mereka sendiri.

Setelah sesi foto bersama di halaman museum, rombongan mahasiswa KPI IIM Surakarta pun beranjak, membawa pulang bekal berharga yang mengintegrasikan teori komunikasi, sejarah, dan moralitas Islam.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top